Kamis, 19 Juni 2014

Tapak Tilas Romo KH. M. SHOLEH BAHRUDDIN di Bumi NGALAH

Jejak Perjuangan Sang Kyai Di Bumi ”Ngalah”


A.    Pendahuluan

Setelah menempuh pendidikan dari perbagai Pesantren, Dan pada usia 22 tahun, tepatnya pada tahun 1975, beliau menikah dengan Ny. Hj. Siti Sa’adah dari Krandon, Kerjo, Karangan, Trenggalek, yang mana kalau ditelusuri dari garis keturunan antara keduanya, menjadi satu saudara pada garis keturunan Nyai Salimah. Hingga sekarang dari hasil perkawinan, beliau dikaruniahi 10 anak, diantaranya: Siti Muthoharoh, Atik Hidayatin, Ahmad Syaikhu, Siti Faiqoh, Luluk Nadhiro, Ahmad Faishol (alm.), Siti Khurotin, M. Bustomi (alm.), Siti Hajar dan terakhir  Siti Nuronia.
Romo KH. Sholeh Bahruddin bukan hanya sekedar ulama yang nyantri 5 – 10 tahun saja, dan bukan pula ulama’ yang nyantri dari 3 atau 4 pesantren saja. Sejak kecil beliau sudah bergelut dengan lingkungan Pesantren, mulai dari Pesantren ayahandanya sendiri, Pesantren kakeknya, sampai Pesantren para ulama sepuh yang mempunyai kharismatik tinggi di tanah Jawa pernah beliau jajaki.
Dari berbagai latar belakang pesantren yang pernah beliau jadikan pelabuhan hati itulah, pada akhirnya beliau ramu dalam satu ramuan mujarab di Pesantrennya sehingga akhirnya menjadi sebuah pesantren multikultural (beragam budaya), yaitu pesantren Ngalah.
Pada tahun 1985  beliau mendirikan lembaga  pendidikan Pondok Pesantren Ngalah. Selain beliau sebagai Pendiri dan ketua umum Yayasan Darut Taqwa Sengonagung Purwosari Pasuruan beliau juga menjabat sebagai musytasar NU cabang Pasuruan 2006 – 2010 M. Dalam menjalankan amanah, beliau sebagai pendiri dan pengasuh mempunyai prinsip atau motto  ngayomi lan ngayemi terhadap sesama.
Dengan lembaga yang didirikan mulai TK sampai Universitas Yudharta beliau mempunyai tujuan dan harapan untuk mencerdaskan bangsa dan mempertahankan nilai-nilai Pancasila sekaligus mencetak santri yang berotak Jepang dan berhati Madinah atau dengan bahasa Pesantrennya fiddunnya hasanah wafil akhiroti hasanah yang bermuara pada waqina adabannar.
Untuk mendirikan Pondok Pesantren itu tidak semudah yang kita bayangkan, seperti halnya membalikkan telapak tangan tetapi perlu adanya usaha keras dan diikuti dengan kesabaran sekaligus perlu kepiawaian yang tinggi, apalagi didalamnya terdapat berbagai macam atau model pendidikan yang diterapkan, mulai model salaf sampai model kholaf, dan disamping itu juga diajarkan ilmu thoriqoh yang menjadi pondasi keimanan dan ketauhidan seorang hamba. Hal ini menunjukkan betapa sempurnanya ilmu yang dimiliki oleh seorang kyai yang mampu memberikan pendidikan yang multicultural kepada semua santrinya. Dan ini membutuhkan waktu yang cukup lama dan panjang serta butuh kesabaran untuk mengukir dan mewujudkan semua itu.

 B.    Pemberian Amanah Menuju ”Ngalah”

Setelah beliau menikah pada tahun 1975 diusianya yang ke 22, beliau tidak lantas mengaktualisasikan ilmunya ditengah-tengah kehidupan yang lebih nyata, mengasingkan diri dari dekapan kedua orang tuanya dan hijrah untuk berjuang menyebarkan syariat Islam dipergumulan orang-orang yang masih membutuhkan media untuk mentransfer hidayah Tuhan masuk kedalam hati sanubari mereka, merubah kultur budaya masyarakat yang jauh dari tuntunan syariat.
Beliau  yang sudah menikah mulai berfikir akan perekonomian keluarga yang dibinahnya, bergeraklah beliau untuk membuka usaha untuk menopang ekonomi keluarga dirumahnya, dengan modal yang sedikit beliau mencoba keberuntungannya untuk berdagang berbagai macam kebutuhan bangunan, dimulailah perdagangan itu dengan menyediakan batu kapur dan sedikit kayu glugu. Namun Tuhan berkata lain dan menurunkan ujian kepada beliau dengan diberi kesuksesan dan keberhasilan dalam usaha beliau, sehingga dengan waktu yang cukup singkat beliau mampu mengembangkan usahanya dan mendapatkan keuntungan yang melimpah. Pada dasarnya keuntungan dan keberhasilan dalam berdagang selalu beliau harapkan dan itu semua tentu saja menjadi harapan semua orang apalagi orang tua yang biasanya bahagia melihat kesuksesan anaknya. Namun berbeda dengan beliau dan kedua orang tuanya, beliau justru melihat semua itu merupakan ujian dari Allah SWT yang bisa membuat beliau melupakan tanggung jawab dan kewajibannya untuk mendampingi dan membantu orang tua beliau dalam mengajar dan mendidik para santri di pesantren ayahnya. Dengan kesibukan beliau akan pencarian dan penerimaan karunia Tuhan itu, suatu ketika beliau meninggalkan kewajibannya untuk mengajar dan mendidik santri ayahnya, seketika itu beliau dipanggil oleh ayahnya dan ditegur dengan nada penuh dengan kemarahan. Ayah beliau bertanya ”teko endi koen kok gak ngajar mangko” beliau menjawab dengan sopan ”ndugi kilaan pak” mendengar jawaban sang putra Mbah Kyai Bahruddin Kalam atau ayah beliau langsung memarahi beliau ”terusno.... tak obong tokomu”, sungguh tauladan yang perlu kita petik hikmahnya, dimana kepentingan akhirat harus didahulukan dari pada kepentingan dunia, dan kepentingan orang lain lebih diutamakan dari pada kepentingan pribadi.
Hari demi hari beliau merasa gunda mendengar perkataan orang tuanya. Bagaimana tidak keberhasilan yang selalu diharapkan ternyata tidak bisa membuat orang tua beliau senang melihatnya, tapi justru membuat sedih dan marah. Itulah kesedihan beliau yang mendalam. Namun bagaimanapun juga beliau adalah hamba Tuhan yang selalu diberi petunjuk, sehingga pada akhirnya beliau menyadari bahwa dalam menjalani kehidupan ini tidak ada ujian dan cobaan yang berat untuk taat kepada kedua orang tua dan kepada Tuhannya selain ujian dan cobaan yang bersifat kenikmatan dan kesenangan. Dengan kenikamatan dan kesenangan orang akan lupa kepada perintah Tuhan dan bisa membuat dirinya berlaku sombong dan menghilangkan kepatuhan kepada kedua orang tuanya.
Disaat kebingungan menyelimuti alam pikiran beliau, terbersitlah hidayah Tuhan, sehingga beliau memutuskan untuk mencari sebuah ketenangan batin yang lebih hakiki, pergilah beliau untuk ”manjing suluk” menuntaskan ilmu thoriqohnya pada Mbah KH. Munawir Kertosono, tepatnya pada tahun 1984 M, setelah ”manjing suluk” selesai akhirnya beliau mendapatkan mandataris kemursyitan sebagai guru thoriqoh Naqsyabandiyah, Qodiriyah, kholidiyah, wal mujadadiyah.
Kesempurnaan beliau sebagai guru thoriqoh membuat hati sang guru yaitu Mbah KH. Munawir menguji akan kesetiaan beliau sebagai seorang murid, dipanggilah beliau oleh Mbah KH Munawir dan beliau diberi amanah yang cukup bertentangan dengan nafsu duniawi, dimana pada saat itu perekonomian keluarga beliau sudah mulai terbangun, tiba-tiba sang guru menyuruh beliau untuk meninggalkan semuanya; berkatalah sang guru “Koen iku anak barep, ojo gembol uwong tuwomu, dulurmu sek akeh, sak aken adik-adikmu kate manggon nangdi, wong tanahe bapakmu yo mek sak munu, beliau menjawab dospundi kale bapak? Sang guru menegur ”uwong tuwomu opo jare aku, kuwe gelem tak toto leh” beliau menjawab ”inggih” sang guru mengatakan ”kuwe nek gelem Ngalah barokah..!!”. beliau menjawab lagi dengan kepatuhan ”inggih”, dari situlah muncul sebuah doa yang terucap dari sang guru ”Ngalah barokah, ...Ngalah barokah,... Ngalah barokah”.
Tidak lama kemudian beliau minta izin pulang kerumah ayahnya, dan Mbah KH. Munawir berpesan ”nek wes tutuk omah warahen bapakmu kongkon mrene”. Setelah sampai dirumah beliau menceritakan kepada ayahnya apa yang telah  diperintahkan oleh sang guru (Mbah KH. Munawir) kepadanya. Mbah KH. Bahruddin yang juga masih termasuk keponakan dari Mbah KH. Munawir langsung pergi ke Kertosono untuk menemui beliau, sesampainya Mbah KH. Bahruddin disana, Mbah KH. Munawir berkata kepada beliau ”anakmu soleh ojok digembol ae, culno jarno arek iku cek ngaleh” beliau menjawab ”inggih nderek aken”. Setelah perbincangan antara keduanya selesai, akhirnya Mbah KH. Bahruddin pulang, dan  sesampainya dirumah beliau langsung memanggil Romo KH. Soleh Bahruddin dan memberikan sebuah wejangan akan beberapa hal yang harus beliau lakukan dalam menjalankan perintah sang guru.
Dengan diiringi doa restu yang tulus, melepaskan anaknya untuk pergi berjuang menyampaikan kalam Tuhan, beliau berpesan;
-  Kowe yen dholek panggunan kudu ora ado lan ora jedek songko pasar.
(Kamu kalau mencari tempat jangan yang terlalu jauh dan terlalu dekat dengan pasar)
-   Panggonan mau ora adoh songko dalan sepur.
(Tempat itu juga tidak jauh dari stasiun)
-  Panggunan mau ora adoh songko ratan
(Tempat itu juga tidak jauh dari jalan raya)
-  Panggonan mau ora adoh songko banyu.
(Tempat itu juga tidak jauh dari sungai)
-  Panggunan mau seng penduduk’e isih tipis imane
(Tempat yang penduduk atau warganya masih banyak yang belum beriman)
-  Panggonan mau durung ono bangunan masjid.
(Tempat itu masih belum ada masjidnya)
-  Lan panggonan mau kudu ono pinggir tengene dalan.
(dan tempat itu harus berada disebelah kanan jalan)
Belum kering rasa kegelisahan untuk mengawali perjuangan, pindah dari dekapan orang tua, jauh dari keluarga yang selalu memberikan perlindungan sesuai dengan amanah sang guru, hati dan pikiran beliau tambah bergejolak rasa kebingungan sesaat setelah menerima pesan dari orang tuanya itu. Dalam hati beliau bertanya-tanya kemana aku harus mencari tempat yang sesuai dengan petunjuk sang ayah itu.
Namun dengan latar belakang ketaatan seorang anak yang selalu berbakti kepada guru dan orang tua, beliaupun tidak pikir panjang dan banyak komentar, dengan Bismillah dan percaya akan pertolongan Allah yang selalu menolong hamba-Nya, perintah itupun dilaksanakan dengan meminta restu kepada orang tuanya ”Pangestunipun”,  ”iyo wes budalo tak pangestoni” hanya doa itulah yang mengiringi beliau dalam menunaikan perintah sang guru dan orang tuanya. 

C.    Langkah Kaki Menuju Bumi “Ngalah”

Langkah kaki beliau mulai berjalan, menyusuri berbagai tempat untuk mencari lokasi perjuangan. Namun untuk menemukan lokasi yang persis dengan isi amanah sang ayah itu sangatlah sulit. Hari demi hari beliau lalui dengan mencari informasi kesana kemari melangkahkan kaki sesuai dengan kata hati.
Dalam masa pencarian itu, tentunya banyak kisah pahit yang beliau alami, karena memang mencari tempat yang sesuai dengan amanah itu tidak semudah yang kita bayangkan, butuh sebuah perjuangan dan waktu yang cukup panjang serta sangat melelahkan.
Bisa kita banyangkan betapa sulitnya mencari dan menemukan tempat seperti itu, ibarat mencari sebuah permata beliau mencari permata yang ada didasar laut dengan berbagai kreteria dan bentuknya, dan dengan peralatan yang sangat sederhana. Sungguh hal itu sangatlah melelahkan.
Setelah beberapa waktu telah beliau lalui, beberapa tempat sudah beliau kunjungi, kepergian beliau menyisir kota sidoarjo, probolinggo, jember, banyuwangi, dan lain sebagainya, sudah cukup menyita waktu dan sangat lelelahkan, namun tempat perjuanganpun tak kunjung beliau temukan, sesekali beliau merasa lega ketika ada beberapa tempat yang beliau kunjungi terdapat ciri-ciri yang agak sesuai dengan isi amanah, namun setelah beliau perhatikan dengan seksama ternyata ada satu dan dua kreteria yang tidak terdapat dalam lokasi itu, hal itu terjadi berulang kali, sehingga terkadang terbersit pula di hati beliau rasa keputus asaan untuk mencari dan menemukan lokasi yang persis dengan isi amanah itu, sampai pada akhirnya beliau matur (bilang) kepada ayahnya. “Pak, mboten enten tempat seng kados niku” (pak tidak ada tempat yang sesuai dengan amanat itu), kemudian ayahnya menjawab dengan singkat, “Onok, golek ono maneh!” (ada, cari lagi). Dengan tabah dan sabar beliau jalani lagi perintah sang ayah, dengan menyusuri berbagai daerah, mencari pijakan kaki perjuangan, namun lagi-lagi beliau masih belum juga menemukan lokasi itu, sampai pada akhirnya rasa keputus asaan menyelimuti hati beliau kembali, rasa gunda dan gelisa selalu menemani beliau, rasa takutpun muncul untuk mengatakan kegagalannya dalam mencari tempat perjuangan yang kedua kalinya kepada sang ayah, akan tetapi apa boleh buat, kesulitan beliau pada akhirnya mendorong keberanian untuk mengatakan yang sesungguhnya, namun lagi-lagi jawaban sang ayah tetap sama dengan yang pertama “Onok, golek ono maneh!” (ada, cari lagi). Sungguh jawaban yang menguji sebuah ketabahan dan kesabaran hati seseorang untuk menjalankan sebuah perjuangan.
Jawaban yang selalu sama dari sang ayah membuat beliau bingung dan bimbang, apakah bisa mencari tempat yang sesuai dengan amanat tersebut, termenunglah beliau dalam keadaan gunda dan gelisa, dan di hati kecil beliau berkata; “Aku golek nangdi maneh, tempat seng koyok ngono, padahal aku wes nangdi-nangdi sek gak nemu ae tempat seng koyok ngono, cek sorone amanah iki”. (Aku mencari kemana lagi, padahal aku sudah kemana-mana masih belum ketemu saja tempat seperti itu, kok begitu berat amanah ini). Namun bagaimanapun juga beliau (Romo Kyai Sholeh) adalah seorang anak yang selalu patuh terhadap orang tua dan guru, sehingga bagaimanapun beratnya amanah itu, tetap beliau jalani dengan sungguh-sungguh dan dengan keikhlasan dan ketabahan serta kesabaran hati, tidak mengenal waktu dan lelah, beliau terus berjalan menyusuri beberapa kota dan pelosok desa, sampai pada akhirnya beliau beranggapan bahwa hamparan pulau Jawa ini begitu sempit untuk mencari lokasi yang sesuai dengan amanah sang ayah, dan terfikirlah dibenak beliau untuk hijrah dan mencari lokasi di luar Jawa.
Namun keinginan beliau untuk hijrah ke luar Jawa ternyata tidak diizinkan oleh kehendak Tuhan, sehingga beliau mencoba kembali mengundi keberuntungan, pergi melangkahkan kaki menyisir kota Mojokerto, setelah beberapa hari dan beberapa tempat sudah beliau kunjungi, lagi-lagi lokasi itupun tak kunjung saja beliau jumpai.
Dengan sabar dan tabah beliau terus jalani perintah itu, langkah kaki terus beliau ikuti sampai pada suatu ketika, disaat rintik-rintik hujan mulai membasahi bumi dan menemani perjalanan beliau, dari situ terdoronglah beliau untuk mencari tempat berteduh, dan berhentilah beliau ke rumah salah satu santri ayahnya di Pesanggrahan Ketidur Mojokerto yang bernama bapak Solikhin. Disitu beliau menceritakan semua tujuan dan maksud kepergian beliau ke Mojokerto yaitu ingin mencari tempat dengan beberapa kreteria yang sesuai dengan amanah sang ayah. Setelah mendengar cerita beliau akhirnya pak Solikhin menunjukkan beberapa tempat lagi, di antaranya yang terletak di Kutorejo, Bendengan, Pungging, dan Sumber Kembar Pacet. Setelah beliau mendapatkan informasi tempat itu, keesokan harinya semuanya beliau kunjungi, dan lagi-lagi semua tempat itu masih juga tidak cocok dan tidak sesuai dengan isi amanah. Melihat begitu sulitnya mencari lokasi tersebut, akhirnya pak Solikhin memberikan saran kepada beliau untuk minta petunjuk kepada sang ayah, arah mana yang harus dilalui untuk mencari lokasi itu.
Setelah cukup lama beliau melakukan perjalanan, beliau lantas pulang kembali dengan membawah kegagalan lagi, rasa capek membuntuti badan beliau, beristirahatlah beliau dalam suasana penuh kegelisaan. Keesokan harinya, sesuai dengan saran pak Solikhin, beliau mencoba memberanikan diri untuk meminta petunjuk kepada sang ayah, arah mana yang harus beliau tempuh dalam mencari lokasi itu. Dengan rasa kasihan melihat anaknya yang sudah malang melintang kesana kemari menjalankan perintahnya, akhirnya sang ayah pun memberikan sedikit petunjuk, dengan mengatakan ”melakuo ngidul” (berjalanlah kamu kearah selatan). Dari petunjuk sang ayah itulah beliau mulai sedikit menemukan jalan terang untuk menemukan lokasi perjuangan itu, seakan menemukan tongkat yang bisa memberikan petunjuk jalan.
Sebagaimana petunjuk sang ayah, beliau kembali mencari tempat perjuangan itu. Berjalanlah beliau kearah selatan dari tempat tinggal beliau di Carat Gempol, dan mengundi keberuntungan dengan menyisir kota Wlingi Blitar, namun lagi-lagi beliau tidak menemukan tempat yang sesuai dengan apa yang beliau cari. Tanpa mengenal putus asa beliau terus mencari dan mencari, langkah kaki beliau terus mengajak untuk menyusuri setiap jalan yang bisa dilalui.
Dan pada suatu hari pencarianpun beliau lanjutkan kembali dengan menyisir kota Malang. Setelah beberapa desa dan tempat sudah beliau jelajahi, namun tempat yang beliau cari masih belum ditemukan, disaat rasa kecape’an dan keringatpun mulai bercucuran, maka pencarianpun beliau hentikan, bergegaslah beliau untuk pulang dan beristirahat mengumpulkan stamina untuk bekal pencarian hari esok.
Namun ketika di tengah-tengah perjalanan beliau menuju rumah, rasa kasihan Tuhan mulai diturunkan kepada hamba-Nya yang selalu tabah dan sabar itu, dengan pertolongan serta hidayah dari Allah SWT, akhirnya langkah kaki dan niat beliau untuk langsung pulang terhentikan di sebuah pasar yang terletak di Purwosari. Untuk menghilangkan rasa capek, rasa dahaga dan lapar, bersinggahlah beliau kesalah satu warung yang ada di sekitar pasar itu, memesan secangkir kopi dan makanan di sela-sela itu terjadilah perbincangan antara beliau dan pemilik warung itu, yang bernama Pak Mukhtar, pada awal mulanya beliau ditanya oleh pemilik warung itu ”sangking pundi panjenengan” dari mana anda, beliau menjawab ”sangking Carat” dari Carat, tanpa beliau sangka dan beliau sadari ternyata pemilik warung itu mengenal ayah beliau dengan menanyakan ”napane Kyai Bahruddin” sebelah mananya Kyai Bahruddin, dengan menutup diri beliau menjawab ”kulo tanggine” saya tetangganya. Perbincangan semakin panjang, sampai pada akhirnya beliau mencurahkan keinginannya untuk mencari sebidang tanah yang   akan dijadikan tempat tinggal, dan lama-kelamaan terbongkar juga, kalau beliau adalah putra Mbah KH. Bahruddin Kalam yang akan membuka lahan perjuangan baru.
Malaikat mulai diturunkan oleh Tuhan untuk menggugah hati pak Mukhtar sehingga rasa kasihanpun muncul dibenak hatinya, dan akhirnya dia menunjukkan bahwa ada sebuah stasiun yang terletak tidak jauh dari pasar sini (Purwosari), tepatnya di Desa Sengonoagung dan mungkin saja disana ada sebidang tanah yang cocok (sesuai dengan apa yang dicari) dan bisa dijadikan tempat tinggal sekaligus madrasah.
Dengan ditemani pak Khojin Ngoro mojokerto akhirnya beliau melanjutkan kembali pencarian lokasi itu, mengurungkan niatnya untuk langsung pulang, sekitar jam 12 siang atau pada saat adzan dhuhur berkumandang tibalah beliau berdua di Perempatan Sengon sesuai dengan petunjuk pak Mukhtar tadi, dan untuk melaksanakan panggilan Tuhan beliau bersinggah dan memunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim di mushollah yang terletak ditepi sungai.
Pada awalnya beliau sempat ragu lagi untuk bisa menemukan lokasi perjuangan yang sesuai dengan isi amanah sang ayah, sebab pada saat itu beliau melihat ada sebuah masjid yang berdiri kokoh disebalah timurnya jalan raya. Namun seakan ada sebuah magnet yang memanggil beliau untuk terus berjuang meneruskan pencarian, sehingga tanpa putus asa dan tanpa mengenal lelah setelah selesai sholat pencarian beliau lanjutkan, berjalanlah beliau kearah barat Sengon dengan terus memperhatikan kondisi dan lingkungan disekitarnya, setelah bertanya ke beberapa orang beliau mulai mendapatkan petunjuk, dan berputarlah beliau berjalan melewati sungai besar yang memisahkan antara desa Sengon dengan dusun Kembang Kuning, tidak lama kemudian sampailah beliau di dusun Kembang Kuning tersebut, dengan berjalan kaki beliau terus menyusuri dusun Kembang Kuning dengan selalu menoleh kanan kiri dan memperhatikan lingkungan disekitarnya, sampai pada akhirnya langkah kaki beliau berdua terhentikan dirumah salah satu warga yang terletak di pojok dusun yang bernama bapak H. Huri, dimana pada saat itu masih terdapat dua rumah saja yaitu rumahnya Bapak H. Huri dan rumah Mbok Saminah.
Disitu beliau mulai menemukan sebuah harapan besar, sebab pada saat itu beliau melihat ada hamparan tanah yang masih kosong tak berpenghuni, bersinggah beliau kerumah pak H. Huri itu untuk menanyakan apakah ada tanah yang dijual dan lain sebagainya, dari situ beliau ditunjukkan sebidang tanah milik pak Ali, setelah perbincangan selesai, beliau lantas bersinggah kerumah Pak Ali di dusun Kembang Kuning, dengan tujuan menanyakan tanahnya. Setibanya beliau dirumah pak Ali dan menanyakan lahan yang dimaksud, beliau mulai ragu lagi untuk bisa mendapatkan lahan perjuangan itu, pasalnya tanah yang dimaksud itu mau diwaqofkan jika untuk pembangunan masjid, hal itu mengingatkan beliau pesan sang ayah yang tidak membolehkan beliau untuk menerima tanah waqofan sebagai tempat perjuangan selama-lamanya, dan akhirnya beliau mengurungkan niatnya untuk bisa memiliki tanah pak Ali itu.
Karena melihat letak dusun Kembang Kuning yang sangat strategis dan sesuai dengan isi amanah yang berjumlah tujuh itu, sehingga tanpa putus asa beliau terus mencari lagi tanah kosong yang ada disekitar dusun itu yang dijual dan bisa dibeli. dengan menyisir dan mengelilingi kembali dusun Kembang Kuning, tibalah beliau dirumah Mbok Rondo bernama Nasiyah (Mbok Yah), disitu beliau melihat ada tanah kosong yang cukup luas dan berdekatan dengan jalan masuk desa antara Dusun Kembang Kuning dan Dusun Pandean yang dulunya pernah dijadikan tempat pembuangan kotoran ayam. Dengan rasa gembira dan sedikit lega beliau mencoba mendekati tanah tersebut.
Setelah tiba ditempat atau lokasi tersebut, beliau bertemu dengan salah satu warga kembang kuning yang bernama pak Raki yang pada saat itu sedang menyangkul sawah yang bersebelahan dengan lokasi, dengan sapaan yang santun beliau memulai perbincangan, mulai saling sapa, dan bertanya siapa yang mempunyai tanah ini?, dijual apa tidak? dan lain sebagainya.
Setelah perbincangan beliau berakhir dan menemukan jawaban yang memuaskan, berpamitlah beliau kepada mereka untuk pulang.  Dan sesampainya beliau dirumah, dengan penuh kegembiraan dan rasa optimis beliau langsung menghadap kepada ayahnya untuk matur (berkata) kepada sang ayah; “Pak sampun wonten panggenan ingkang dipun kersa’aken” (Pak sudah ada tempat yang diinginkan). Kemudian sang ayah bertanya “Gek endi tempate?” (dimana tempatnya?), beliau menjawab; “Tempate wonten ing dusun Pandean deso Sengonagung kecamatan Purwosari (tempatnya di dusun Pandean desa Sengonagung kecamatan Purwosari), lalu sang ayah berkata; “Oh yo wes, kapan-kapan ayo didelok” (oh ya sudah... suatu saat ayo kita lihat). Setelah dirasa cukup beliau menjelaskan kepada sang ayah tentang kondisi dan tata letak lokasi, beristirahatlah beliau dengan ditemani bayangan-bayangan hari esok dalam perjuangannya menyebarkan kalam-kalam Tuhan.
Tanah atau lokasi yang sudah diceritakan oleh sang putra, dimana lokasi tersebut mempunyai kesesuaian dengan isi amanah yang telah diberikan, mulai tempatnya yang tidak terlalu jauh  dan tidak terlalu dekat dengan pasar (pasar purwosari),  tidak jauh dari stasiun (stasiun Sengon), juga tidak jauh dengan jalan raya, dan juga tidak jauh dari sungai (sungai jempinang), dan penduduknya yang masih  kurang mengenal syariat agama, karena disebelah lokasi terdapat lokalisasi atau tempat berkumpulnya wanita dan laki-laki tanpa status, serta masih belum berdirinya bangunan masjid, tempat orang bersujud kepada Tuhan, sekaligus lokasi itu terletak disebelah kanan jalan, baik dari arah Surabaya maupun dari arah masuk Dusun Pandean, membuat ketidak sabaran sang ayah (Mbah KH. Bahruddin Kalam) untuk segera melihat dan membuktikan kebenaran cerita sang anak. Beberapa hari kemudian, sang ayah (Mbah KH. Bahruddin Kalam) mengajak sang putra (Romo KH. Soleh Bahruddin) untuk melihat lokasi tersebut. Berangkatlah beliau berdua untuk melihat lokasinya dan setelah melihat serta mengetahui lokasi tersebut sang ayah (Mbah KH. Bahruddin kalam) merasa cocok dan menganggap sesuai dengan apa yang diharapkannya, berkatalah beliau kepada sang putra; “Tempat seng koyok ngene iki seng tak karepno, iki jenenge pancor emas, tanahe mujur ngalor miring ngetan, iki masih njalok piroae tukuen, ojok di enyang, embuh yok opo caramu, (tempat yang seperti inilah yang aku harapkan, ini namanya pancor emas, tanahnya mujur (menghadap) ke utara agak miring ke timur, ini minta berapa saja harus kamu beli, jangan ditawar, entah bagaimana caramu). 

D.    Babat Tanah “Ngalah”

Setelah beliau berhasil menemukan tempat yang diharapkan dan sudah ditunjukkan kepada sang ayah, tepatnya pada bulan September 1984 M atau pada bulan Dhul Hijjah tahun 1404 H. Kebingungan dan kegelisaan serta beban beliau tidak malah berkurang atau ringan tetapi justru malah bertambah, dengan apa yang telah diucapkan oleh sang ayah, sebab pada saat itu beliau masih belum mempunyai cukup uang untuk membeli tanah milik Pak H. Wachid Anshori Mojo itu yang luasnya 4.740 m, sehingga dalam hati kecil beliau berkata: “Teko endi carane aku golek duwek gawe tuku tanah iku..??” (Dari mana aku harus mendapatkan uang untuk membeli tanah itu..??”). Pada saat itu beliau masih mempunyai uang 2 juta rupiah dan tanah tersebut di jual dengan harga Rp. 5.000.700 atau 1,055 permeternya.
Namun dengan tekad yang kuat pada akhirnya beliau mencoba kembali untuk mencari karunia Tuhan yang masih tersisa, dan beliau memberanikan diri untuk menemui dan merunding pemilik tanah tersebut, agar supaya bisa dibeli dengan cara diangsur, namun sayangnya beliau masih belum bisa mendapatkan persetujuan dari pemilik tanah itu. Tanpa putus asa dan sabar serta tabah beliau terus mengatur langkah dan strategi untuk bisa mewujudkan keinginan orang tuanya itu. Hari demi hari beliau jalani tanpa bosan untuk datang ke dusun Kembang Kuning dan Pandean, mengenalkan diri dan bersahabat dengan masyarakat sekitar.
Setelah cukup banyak orang yang beliau kenal disekitar dusun itu, barulah beliau menemukan jalan terang untuk dapat membeli tanah itu. Yaitu dengan mengenal salah satu warga Pandean yang bernama pak H. Supa’i yang merupakan sahabat dekat pemilik tanah tersebut, dan dengan bantuannya beliau mencoba kembali merunding pembelian tanah itu. Perundinganpun terjadi cukup alot, sipemilk tanah berucap kepada pak H. Supa’i”aku nyelengi tanah soro-soro yo emo nek diangsur”, (aku menabung tanah dengan susah payah, ya gak mau kalau diangsur) pemilik tanah masih menolaknya, tetapi setelah dijelaskan oleh pak H. Supa’i bahwa uang yang didapat dari seorang yang berjalan dijalan Tuhan pasti akan mendapatkan keberkahan. Tanpa disadari pak H. Supa’i berucap kepada sipemilik tanah tersebut ”duwek rong juta seng teko gus iku bakale barokah lan isok koen gawe tuku tanah maneh seng ombone telung hektar”, (uang dua juta yang berasal dari anak kyai itu akan membawah keberkahan dan bisa kamu buat beli tanah lagi yang luasnya tiga hektar).
Setelah sekian lama negosiasi itu berlanjut, akhirnya pemilik tanah tersebut membukakan pintu hatinya untuk menerima pembelian tanahnya dengan cara diangsur dan dibayar sebagai uang muka sebesar Rp. 2.000.000. Dan atas kehendak Tuhan, akhirnya keberkahan yang tidak sengaja diucapkan tadi menjadi sebuah kenyataan. Pak H. Wachid Anshori mendapatkan ganti tanahnya di daerah Puntir seluas tiga hektar dengan harga dua juta. Sungguh keberkahan beliau yang mulai ditampakkan oleh Tuhan.
Untuk meringankan beban beliau dalam membeli tanah dan mendirikan pondok pesantren baru itu yang juga merupakan pengembangan dari pondok pesantren Darut taqwa Carat, maka di bentuklah panitia pelaksana yang di ketuai oleh Mbah Kyai Bahruddin Kalam Sendiri, Bendaharanya Bapak M. Casbi, dan sekretaris pelaksana yaitu Bapak M. Sya’in.
Setelah tanah dapat beliau beli, beliau tidak lantas menempati dan membuka lahan perjuangan itu, namun kurang lebih selama  ­+ 3 bulan beliau hanya berkunjung melihat lokasi seraya mengenalkan diri dengan masyarakat sekitar. Dipagi hari beliau datang dan sore hari beliau pulang, bersilaturrohmi kerumah-rumah warga Kembang Kuning dan Pandean menjadi langka awal beliau untuk menjaring sahabat dalam perjuangannya nanti.
Lain hari ketika beliau tak berkunjung ke Kembang Kuning dan Pandean, beliau dirumahnya membuat anyaman bambu dengan dibantu oleh beberapa santri ayahnya, serta menyiapkan bekal yang akan dibawah nanti.
Setelah dirasa cukup masyarakat disekitar yang beliau kenal, dan bekalpun sudah disiapkan, akhirnya sekitar bulan Desember tahun 1984 M, atau bulan robiul awal 1405 H. Dengan mengendarai Truk dan dengan ditemani empat santri ayahnya beliau berangkat menuju lokasi dengan membawa bekal yang sederhana yaitu anyaman bambu (gedek) serta peralatan dan sedikit bahan makanan. Keempat santri itu adalah; Moch. Asy’ari dari Jedong Ngoro Mojokerto, Moch. Sholeh asal Kali Putih Gempol Pasuruan, Abd. Majid dari Bursik Ngoro Mojokerto dan Imam Syafi’i dari Trenggalek.
Setelah beliau dan kempat santri itu tiba dilokasi perjuangan, beliau langsung mendirikan sebuah gubuk kecil persegi empat tanpa atap yang terbuat dari anyaman bambu yang telah dibawah itu, setelah selesai, beliau dan keempat santri itu langsung pulang ke Carat lagi.
Dua hari sesudahnya, barulah beliau memutuskan untuk mengawali dan babat tanah Ngalah, namun sebelum beliau berangkat, beliau mendapat pesan khusus dari sang ayah (Mbah KH. Bahruddin), dan isi pesan itu: “Sholeh.. pesenku mek siji ono kono, gok embong, gok masjid, gok langgar, gok pasar dulurmu kabeh” (Soleh... pesan saya cuma satu disana, di jalan, di masjid, di mushollah, di pasar itu semua saudaramu). Setelah beliau mendapatkan wejangan dari sang ayah, barulah keenam santri yang akan menemani beliau dipanggil, dan dihadapan keenam santri itu Mbah KH. Bahruddin memberikan do’a restu akan perjalanan mereka menemani anaknya yang hendak berjuang dijalan Allah, ”wes awakmu tak izini lan tak ridhani melok Soleh nang Sengon”, (sudah sekarang kamu semua sudah saya izini dan saya restui untuk ikut Soleh ke Sengon).
Berangkatlah beliau dengan enam santri ayahnya yang merupakan cikal bakal babat tanah Ngalah ini, dengan diiringi do’a restu, beliau dan keenam santri itu meninggalkan desa Carat tempat kelahiran beliau, keenam santri yang mempunyai latar belakang ketaatan itu adalah: Moch. Asy’ari dari Jedong Ngoro Mojokerto, Moch. Sholeh asal Kali Putih Gempol Pasuruan, Abd. Majid dari Bursik Ngoro Mojokerto, Imam Syafi’i dari Trenggalek, dan M. Tohari dari Pecalukan Prigen Pasuruan serta yang keenam Abd. Rohim dari Jurang Pelen Gempol Pas.
Dengan sabar dan tabah beliau menjalani kehidupan baru, dengan disertai rasa penuh pengabdian, beliau mengawali perjuangannya. Serta dengan berpakaian sederhana, beliau mencoba menyembunyikan jati dirinya sebagai seseorang yang akan menjadi seorang ulama’ besar dikemudian hari. Suatu prilaku katawadlu’an seorang sufi. Celana hitam, dan bertopi laken menjadi kebiasan beliau setiap hari.
Malam pun mulai tiba, gelapnya cahaya mulai menutup mata, hanya bercahayakan lampu yang berasal dari miyak tanah, suasanapun mulai menyeramkan dengan dikelilingi rerimbunan bambu (Barongan), terlebih lagi banyaknya ular berbisa yang sering kali muncul, terkadang membuat takut para santri.
Keesokan harinya beliau dan para santrinya mulai beraktifias, Dengan peralatan yang sederhana beliau mulai menyangkul sawah, dan meratakan tebing-tebing yang ada untuk dipergunakan sebagai cikal bakal tempat kediaman dan masjid. Namun sebelum beliau membuat kediaman, langkah awal yang beliau lakukan adalah mendirikan sebuah Masjid sebagai sarana ibadah, dan pembelajaran serta untuk mempermudah mengajak masyarakat bermusyawarah dan berkomunikasi.
Hari-demi hari beliau jalanai hal itu bersama keenam santrinya, dengan rasa tabah dan tawakkal. Dan tidak lama kemudian ada beberapa warga sekitar yang mulai membantu perjuangan beliau, diantaranya yang dari kalangan tua adalah Pak Raki, Pak Karjin, Pak Mi, dan lain sebagainya, dan dari kalangan pemuda adalah Khoiron, Basori, dan lain sebagainya. Hal itu beliau jalani selama kurang lebih 3 bulan lamanya. Dengan demikian susah dan sedih sudah menjadi makanan sehari-hari bagi beliau dan para santrinya.
Sebelum masjid dapat didirikan, beliau dan para santrinya selalu melaksanakan sholat di beberapa mushollah yang ada disekitar, namun yang sering beliau jadikan tempat sholat  dan tempat mengajar para santri adalah di mushollah bapak H. Huri. Sedangkan untuk tidur para santri di tempatkan di rumah salah satu warga Kembang Kuning yang bernama Mbok Nasiyah.
Setelah beberapa tebing sudah berhasil beliau rakatan bersama para santri dan beberapa warga yang turut membantu, barulah beliau mengajak untuk mendirikan sebuah masjid, namun kondisi keuangan yang ada membuat kebingungan sebagian orang untuk mengawali mewujudkan semua itu. Namun karena adanya tekad yang kuat dari beliau pada akhirnya ada saja jalan keluarnya, dengan telaten beliau dan para santri mencari batu sendiri dari sungai dan kemudian dikumpulkan, beberapa hari kemudian batupun terkumpul cukup banyak dan bisa digunakan untuk mengawali pembangunan masjid itu.
Selanjutnya untuk mencari orang yang mengerti tentang masalah bangunan, beliau diajak oleh salah seorang warga Kembang Kuning yang bernama Pak Raki untuk berkunjung ke rumah salah seorang warga Pandean yang bernama bapak Bari, dan akhirnya beliau menunjuk pak Bari sebagai kepala tukang dalam pembangunan tersebut. Namun dalam perbincangan beliau dengan pak Bari beliau menceritakan kondisi keuangan yang jauh dari kata ada. Dengan tutur bahasa yang halus beliau mengatakan keinginannya untuk mendirikan sebuah Masjid yang hanya terbuat dari anyaman bambu saja,  yang penting bisa ditempati untuk sholat dan lain sebagainya.
Seiring dengan pergantian waktu, masyarakat sekitarpun mulai banyak yang mendengar akan keberadaan beliau dan tujuan beliau yang ingin mendirikan sebuah masjid sebagai tempat ibadah dan melaksanakan sholat jum’ah, sontak masyarakat sekitar mulai banyak berdatangan dan membantu beliau, dengan senang hati dan rasa gembira masyarakat pandean, purwo, dan kembang kuning membantu kyai dalam mengumpulkan bahan-bahan yang diperlukan, sebab pada saat itu tidak ada bangunan masjid yang berdiri di sekitar desa tersebut, sehingga untuk melakukan ibadah sholat jum’ah masyarakat harus rela berjalan kaki + 2 kilo m, tepatnya di desa Sengonagung. Hal inilah yang membuat masyarakat selalu aktif dan loyal membatu perkembangan pembangunan masjid dan Pondok Pesantren, bahkan hingga kini keikut sertaan masyarakat dalam perkembangan Pondok Pesantren tidak dapat dielakkan.
Setelah bahan-bahan dan bantuan dari masyarakat terkumpul barulah pembangunan itu dimulai.  Bangunan masjid yang terbuat dari gedek (anyaman bambu) itu dibangun dengan ukuran seluas + 15 m2 dan berpondasi batu kali. Pada saat pembangunan dihadiri oleh mbah kyai Bahruddin, mbah kyai Munawir, serta koramil, dan untuk peletakan batu pertama dilakukan oleh mbah kyai Bahruddin baru kemudian peletakan batu kedua dilakukan oleh perwakilan dari koramil. Dengan izin Alloh SWT kurang lebih 17 hari masjid yang terbuat dari bambu itu dapat dirampungkan dengan baik. Dan akhirnya berdirilah masjid yang diberi nama masjid Darut Taqwa II dan resmi ditempati pada hari Jum’at wage tanggal 14 dhul-hijjah 1405 H atau tepatnya tanggal 30 agustus 1985 M. Hari Jum’at itu adalah hari yang sangat bersejarah dimana hari itu merupakan hari pelaksanaan sholat Jum’at yang pertama kalinya di dusun Pandean dan Kembang Kuning. Pada kesempatan itu yang bertindak menjadi Imam Sholat adalah Mbah KH. Bahruddin Kalam dan yang menjadi Bilal adalah bapak H. Qodir sedangkan yang bertindak sebagai khotib adalah Bapak Subadar dari dusun Sengon selaku Mudin Desa dengan tema P4 yaitu Pedoman penghayatan, dan pengamalan Pancasila.
Namun pagi-pagi sebelum sholat jum’ah dilaksanakan beliau membawa semua keluarganya serta ditemani satu santri putri ayahnya bernama Siti dari Banyuwangi untuk ikut serta dalam perjuangan. Hal itu semua sesuai petunjuk dan atas perintah ayahnya.
Usai shalat jum’at dilaksanakan peresmian Masjid pun mulai digelar, dalam acara peresmian itu dihadiri oleh beberapa tokoh masyarakat, muspika Purwosari, Koramil dan beberapa tokoh yang lainnya, hadir pula Mbah KH Munawir, dan beberapa ulama’ lainnya. Dalam kesempatan itu Mbah KH. Bahruddin Kalam menuturkan “sedoyo mawon masyarakat sengonagung khususe pandean-kembang kuning, kulo titip anak kulo, anak kulo tak kengken ngedekaaken pondok lan sekolahan, gak ridlo dunyoo akhirat nek sampek oleh bayaran, nek sampek oleh bayaran tolong sampean elingno, nek gak wani ngilingno, kandaaken kulo, nek kulo pun mboten wonten, kandaaken makne, nek makne wis boten enten dimuen. Anak kulo Sholeh, kulo titipno teng panjenengan, enten klirune segera dielingaken, sebab niki nggeh manungso”.
Setelah satu minggu peresmian masjid digelar, ada salah seorang warga Kembang Kuning yang bernama Bapak Nur Salim datang kepada beliau dan dengan senang hati pak Nur Salim memberikan sebuah gubuk kecil yang terbuat dari anyaman bambu berukuran + 2,5 m2, untuk dijadikan pondok angkring sebagai tempat istirahat para santri. Setelah itu barulah pondok pesantren secara terang-terangan menampakkan jati dirinya sebagai bengkel rohani dan kemudian terus berkembang secara pesat dari tahun ke tahun hingga kini.

E.    Ujian dan Cobaan di Bumi “Ngalah”

Mungkin sudah menjadi ketentuan dan kehendak Tuhan, dimana ketika seorang anak manusia berjalan pada rel Ilahi dan mencoba melaksanakan sebuah perintah sebagai kholifah fil ardi dia tak akan lepas dari apa yang namanya ujian dan cobaan, dan mungkin hal itu merupakan badai terpaan kemuliaan yang Tuhan janjikan bagi orang-orang yang selalu sabar dan tabah dalam menghadapi dan menerima cobaan dan ujian itu. Dengan kata lain semakin tinggi ujian dan cobaan yang diberikan kepada seorang hamba semakin tinggi pula derajat dan kemulian yang diberikan pada hamba yang mampu menerima semua itu dengan ikhlas dan tabah.
Di saat beliau (KH. Sholeh Bahruddin) menerima sebuah amanah untuk mendirikan Pondok Pesantren dan hijrah meninggalkan tanah kelahirannya, sebenarnya beliau sudah menjalani gelombang batin yang sangat luar biasa, sebab pada saat itu perekonomian keluarga beliau sudah sedikit tertata dengan baik, dan kehadiran seorang anak sudah bisa menghibur jiwa dan bisa meramaikan suasana keluarga, namun itu semua harus beliau tinggalkan dengan ikhlas demi menjalankan perintah sang guru, pergi jauh melaksanakan perintah perjuangan.
Dalam kaitannya dengan penerimaan ujian dan cobaan, pada awal perjuangan di negeri orang sebenarnya beliau sudah menyadari akan adanya aral melintang yang akan menghalangi perjuangannya, krikil-krikil tajampun akan menghambat cita-cita mulianya. Kesadaran akan semua itu pada akhirnya membuat beliau lebih berhati-hati dan lebih menata diri, serta menyiapkan batin dengan berbagai konsekwensi perjuangan. Oleh karena itu dengan keenam santri yang dibawah dari pesantren ayahnya beliau mengawali perjuangannya dengan beradaptasi dengan lingkungan, kultur, adat istiadat yang ada dan meleburkan diri dalam pergaulan sosial ditengah-tengah masyarakat yang menjadi target perjuangan beliau. Dan beliau selalu berpesan kepada ke enam santrinya ”seng ati-ati yo iki ngunu ono desane wong”. Beliau menyadari bahwa hidup ditengah-tengah masyarakat yang majmuk itu sangat sulit, sehingga sebuah pesan awal itu harus beliau sampaikan. Sebuah pesan yang mempunyai makna dan nilai yang cukup luas dalam kehidupan, artinya bergaul dengan masyarakat itu harus disertai dengan akhlak yang mulia, tatakrama dan kesopanan harus menjadi pondasi dasar dalam pergaulan, begitu halnya ketawadu’an harus disertakan pula, kesabaranpun harus dipertahankan dan lain sebagainya.
Setelah beberapa hari beliau menempati tempat per juangan dan telah mengenal beberapa warga barulah beliau mulai membuka kultur atau budaya yang harus ada di dunia pesantren sebagai lembaga pendidikan agama yaitu sebuah budaya ngaji atau belajar, namun karena keterbatasan tempat dan waktu yang masih dibilang singkat pada akhirnya beliau dan santrinya membuka lembaran kitab kuning itu diberbagai musholah yang ada dan berpindah-pindah, dari mushollah  yang satu kemushollah yang lain, namun yang paling sering beliau tempati adalah di mushollahnya bapak H. Huri dusun Kembang Kuning.
Beberapa hari kemudian, sesuai dengan tujuan awalnya yaitu mendirikan pondok pesantren beliau mulai membangun relasi dengan masyarakat sekitar, dan sebagai warga negara yang baik beliaupun meminta izin kepada perangkat desa yang kebetulan pada saat itu dia juga menjadi salah satu tokoh masyarakat untuk mendirikan sebuah masjid terlebih dahulu, namun hal itu tidak semudah yang kita bayangkan, beliau yang sudah diketahui keberadaannya oleh pemuka agama itu harus rela menerima sebuah ujian kesabaran dan ketabahan terlebih dahulu. Pagi-pagi datanglah beliau kerumahnya untuk bersilaturrohmi dan meminta izin untuk mendirikan sebuah masjid itu, sesampai dirumahnya, beliau yang berjalan kaki kurang lebih 2 km tidak kunjung ditemuinya meskipun orangnya ada, sehingga beliau kembali pulang. Akan tetapi beliau yang memang mempunyai kesabaran dan ketabahan hati tak sedikitpun surut semangatnya untuk mendirikan sebuah masjid yang merupakan hal penting dalam pendirian pondok pesantren, sehingga beberapa hari kemudian beliaupun mencoba bersilaturrohmi kembali namun lagi-lagi beliau masih tidak ditemui juga, dan hal itu berulang kali terjadi.
Setelah beberapa kali beliau datang kerumahnya pada akhirnya orang itu menemui beliau, namun lagi-lagi beliau masih harus menerima cobaan dan ujian. Kedatangan beliau yang disertai niat mulia ternyata mendapatkan perlakuan yang kurang baik, dan permohonan perizinan beliau untuk mendirikan masjid ditolak olehnya dengan mengatakan “teng mriki mboten butuh kyai utowo gus” (disini sudah tidak membutuhkan seorang kyai atau gus). Mendengar hal itu dengan sopan beliau menjawab, kulo mboten ngedekaken pondok namung ndamel mushollah mawon lan damel sholat kale keluarga kyambek. (saya tidak mendirikan pondok pesantren, cuma mau mendirikan mushollah saja untuk sholat berjama’ah dengan keluarga).
Setelah ujian dan cobaan itu beliau lalui pada akhirnya beliau mendapatkan izin untuk mendirikan masjid. Namun ujian dan cobaan Tuhan tidak berhenti disitu akan tetapi terus berjalan menyelami kesabaran dan ketabahan beliau. Seiring dengan pendirian masjid cemoohan dan fitnahan mulai datang, suatu ketika seiring dengan pendirian masjid beliau dituduh dan di fitnah akan mendirikan sebuah gereja, hal itu dilatar belakangi dengan adanya salah satu warga pandean yang menjadi tokoh kristen bernama pak Sujud, sehingga keberadaan beliau dikait-kaitkan dengannya. Dengan sabar beliau menerima semuah fitnahan itu. Kesabaran beliau dalam menerima semua itu ternyata harus diuji lagi sehingga hembusan angin fitnahan itu terus menyebar luas kepada masyarakat sekitar dan berujung pada tuduhan atas beliau sebagai anak buangan dari mantan anggota PKI (Partai Komunis Indonesia). Hal itu merupakan badai gelombang yang sangat luar biasa bagi beliau, sebab saat itu kondisi bangsa masih mencekam akibat adanya Gestapu tahun 70 an yaitu suatu gerakan pembantaian terhadap para anggota PKI dan keluarganya. Namun meskipun demikian beliau tetap bersemangat dan tidak kecil hati.
Melihat kesabaran dan ketabahan beliau yang begitu luar biasa membuat sebagian masyarakat semakin simpatik dan menaruh empatinya kepada beliau, namun tidak sedikit pula yang semakin iri dan dengki kepada beliau, dan terus melancarkan fitnahan dan tuduhan untuk merintangi dan menghalangi langkah dan tujuan mulia beliau. Suatu riwayat disaat usai pemasangan gedek masjid ada salah seorang tokoh agama menghasud beliau di forum kemasyarakat dia mengatakan pada jama’ahnya “mosok onok masjid teko gedek” (masak ada masjid yang terbuat dari bambu), dan hal itu sering kali di lontarkan diberbagai majlis ta’lim yang dipimpinnya.
Selama masa perjuangan, beliau tak lepas dari yang namanya ujian dan cobaan mulai dari cemoohan, hujatan bahkan ancaman. Ujian terus berlanjut hingga suatu ketika ada kabar akan ada sekelompok masa yang akan merobohkan masjid yang masih terbuat dari bambu itu dan berencana mengusir beliau dari lokasi karena beliau dianggap salah satu golongan yang akan merusak tatanan budaya NU. Mendengar adanya isu tersebut sebagian warga yang selalu membantu beliau merasakan kekhawatiran akan kebenaran isu tersebut, dan berjaga-jaga mengantisipasi beberapa kemungkinan.
Meskipun beliau dan para santrinya hidup dengan sederhana dan makan seadanya, nasi akin, ubi, jagung, bahkan bongkele gedang (pelapa pohon pisang), menjadi makanan sehari-hari, bahkan beberapa hari beliau dan para santrinya harus menahan lapar karena ketidak berdayaan dan kekuarangan bahan makanan, susah sedih selalu beliau rasakan dalam mengawali perjuangan, sampai pada suatu ketika, setelah sholat maghrib perut para santri mulai terasa lapar sekali namun gak ada uang untuk membeli makanan yang bisa mengganjal perut sampai  esok pagi, cadangan beras di dapur kyaipun tidak ada, laparnya perut sudah tak kuasa ditahan, namun apalah daya, hanya ketawakkalan saja yang bisa mendatangkan karunia Tuhan. Disaat perut mulai sakit tiba-tiba ada salah satu warga yang bernama pak Karjin mengetahui nasib para santri itu dan prihatin melihatnya, dan akhirnya dengan rasa kasihan melihat hal itu akhirnya pak Karjin pulang mengambil beras sebanyak 2 kilo dan diberikan kepada para santri. Tentu saja dengan rasa syukur yang mendalam para santri menerima rizki itu, disela sela kelaparan yang mendalam para santri langsung memasak semuanya tanpa sisa, dan sebagian santri langsung mencari ikan di sungai. Setibanya dari mencari ikan dan dimasak seadanya ternyata nasi yang di masak tak kunjung matang juga, hal itu dikarenakan kebanyakan beras yang dituangkannya. Dalam kondisi yang begitu lapar membuat sebagian santri tak sabar menahan lapar, dan akhirnya para santri memutuskan untuk memakannya meskipun belum matang yang penting perut bisa kenyang.
Meskipun kondisi beliau dan para santrinya cukup memperihatikan, namun masih saja banyak orang yang iri dan dengki kepada beliau, sehingga cobaan dan ujian, fitnahan dan cemoohan terus beliau terima. Sampai pada suatu hari ketika beliau mencoba memperbaiki perekonomian keluarga dan untuk memenuhi makan para santri dengan menanam polowijo seperti ubi-ubian, jagung dan cengkeh, tiba-tiba  tanpa beliau sadari ternyata berbuah fitnahan dan hasutan ditengah-tengah masyarakat, tersiar kabar bahwa beliau sedang menamam ganja. Spontan hal itu cukup mengusik ketenangan masyarakat, sehingga tak sedikit pula masyarakat yang mengklarifikasi kebenaran hal itu semua, namun dengan sabar dan tabah serta dengan kesopanan beliau menjelaskan ketidak benaran semua itu dan alkhamdulillah fitnahan itu tidak berlanjut lama.
Setelah itu perkembangan pondok pesantren mulai kelihatan, kesabaran beliau mulai tidak diragukan lagi dan keberadaan beliau serta pondok pesantrennya semakin didengar oleh masyarakat luas. Setelah pembangunan masjid yang terbuat dari bambu itu dapat diselesaikan barulah beliau dan sebagian masyarakat merayakan dan meresmikannya, bersamaan itu pula santri putri mulai ada dan semakin bertambah dari hari kehari.
Melihat perkembangan pondok pesantren yang semakin pesat membuat pihak-pihak yang merasa iri hati dan dengki semakin menjadi-jadi, mereka terus berupaya untuk menjatuhkan beliau, tak henti-hentinya mereka menabur fitnah, sampai pada suatu ketika beliau rela di fitnah telah melakukan perzinahan dengan santrinya sendiri. Tak telak hal itu membuat gempar di tengah-tengah masyarakat, dan banyak masyarakat yang terpengaruh dan oleh fitnahan itu. Semakin-hari semakin santer fitnahan itu, cemoohan dan suara tumbangpun terus bermunculan sampai-sampai saat beliau jalan-jalan harus dicemo’oh dan dihujat, pernah juga suatu hari ketika beliau pergi kepasar untuk berbelanja, tiba-tiba ada seseorang yang menghampiri beliau ditengah-tengah kerumunan dan menyapa beliau dengan sapa’an fitnahan ”oh iki ta kyai seng jarene ngetengi santrine dewe iku, lapo koen mrene” (oh ini ta kyai yang menghamili santrinya sendiri itu, ngapain kamu kesini), dengan sabar dan santun beliau menjawab ”inggih, kulo tiyange, kulo mriki bade pados buah-buahan soale wonten sing nyidam nem sasi” (iya, saya orangnya, saya kesini mau cari buah-buahan sebab ada yang nyidam hamil enam bulan). Mendengar jawaban beliau seperti itu sipemfitnahpun merasa senang dan menganggap telah berhasil menjatuhkan harga diri beliau di depan banyak orang, lalu kemudian dia mengatakan ”yo benar a omonganku, pancen wong iku ngetengi santrine dewe” (ya benarkan omongan saya, memang orang itu telah menghamili santrinya sendiri). Tentu saja fitnahan dan tuduhan itu kian hari kian diperbincangkan oleh masyarakat, sehingga terkadang membuat keresahan bahkan banyak orang yang langsung mendatangi beliau dan mengklarifikasi akan kebenaran isu itu.
Begitu ramainya isu atau fitnah itu dibicarakan oleh masyarakat membuat musuh beliau semakin berkesempatan untuk mempengaruhi sebagian warga guna mendesak perangkat desa untuk bertindak tegas dan mengusir beliau dari dusun Pandean dan Kembang Kuning, akhirnya sukses juga apa yang mereka lakukan, beliau dipanggil di balai desa dan di sidang. Namun meskipun demikian beliau tetap sabar dan tabah menghadapi semua ujian dan cobaan itu. Beliau  yang memang bersih hatinya dan memang bersih dari semua tuduhan itu hanya mengembalikan semua itu kepada Tuhan yang mengatur alam semesta ini seraya mendo’akan kepada semua orang yang telah memfitnahnya agar supaya diberi hidayah oleh Allah SWT. Semoga Allah SWT terus menjaga dan memberikan kekuatan kepada beliau amin.
Sesampainya beliau dibalai desa gunjingan, cemo’ohan, hinaan bahkan ancaman untuk mengusir dan membunuh beliau terus menghiasi suasana, suasanapun menjadi tegang dan mencekam. Persidanganpun mulai digelar. Namun karena pada dasarnya itu semua hanya sebatas fitnahan saja, maka tidak ada saksi maupun bukti yang berani dan bisa membenarkan tuduhan itu, dan akhirnya bebaslah beliau dari semua fitnahan itu. Setelah itu semakin hari semakin banyak orang yang simpatik dan empati melihat kesabaran dan ketabahan beliau sehingga pada akhirnya pintu hatinya terbuka untuk menerima dan mengakui keberadaan beliau sebagai utusan Tuhan yang akan mengajarkan kalam-kalam-Nya. Dan akhirnya gunjingan terhadap beliaupun sedikit demi sedikit mulai hilang dan suasanapun mulai tenang dan semakin berpihak pada beliau. Masyarakat dan lingkungan sekitarpun mulai bertambah banyak mendekat dan bersahabat dengan beliau.
Melihat semakin besarnya kepercayaan masyarakat terhadap beliau membuat beberapa orang yang masih iri dan dengki pada beliau merasa terancam, sehingga mereka terus berupaya menghasut dan menjatuhkan beliau, sehingga pada suatu ketika, disaat awal beliau  memberikan pelajaran tambahan bagi para santri tentang baca Al-qur’an (qiro’ah) dengan mendatangkan guru dari luar yaitu KH. Imron Rosyadi tiba-tiba salah satu tokoh mempengaruhi jama’ahnya yang kebetulan sedang bersamaan melakukan kegiatan hadrah. Dengan dalih bersamaan dan dapat mengganggu kegiatan kemasyarakatan yang sudah berjalan si orang itu mengajak untuk membubarkan kegiatan beliau itu.
Tidak cukup itu saja ujian dan cobaan yang beliau terima pernah suatu hari ketika beliau sedang khusuk mengaji dengan para santrinya, tiba-tiba datang seseorang yang tidak beliau kenal, dengan nada kasar dan keras orang itu menantang beliau ”Hai nek awakmu pancen kyai ayo muduno nek wani, ayo carok ambek aku). (hai kalau kamu benar seorang kyai ayo turunlah kalau berani, ayo carok dengan saya). Tidak cukup itu kesabaran beliau di uji pernah juga sore hari setelah pengajian tafsir, tiba tiba beliau dihampiri seseorang dan orang tersebut menghina serta langsung meludahi wajah beliau. Namun meskipun demikian beliau tidak membalas dan juga tidak marah akan tetapi beliau terima itu semua dengan sabar dan ikhlas, dan dengan tutur bahasa yang halus beliau berucap “alhamdulillah, nembeh sakniki kulo saget wudlu ndamel idu” (alhamdulillah, baru kali ini saya bisa wudlu dengan air luda), dalam hati beliau berkata mungkin ini jalan menuju drajat mulia.
Pernah juga suatu ketika beliau dihampiri seseorang dengan membawa sebuah kapak di tangan, tiba-tiba marah-marah dan menghunuskan kapaknya tepat diatas kepala beliau, dengan tenang dan dengan rasa persaudaraan beliau justru menggandeng orang tersebut dan berkata “monggo pinarak teng griyo” (mari singgah kerumah). Dengan kesantunan yang diperlakukan akhirnya orang tersebut bergetar dan tidak bisa meneruskan perbuatannya untuk melukai beliau. Inilah salah satu sifat beliau dalam menghadapi cobaan dan ujian yaitu dengan tabah, sabar, besar hati, dan selalu mengalah. Sungguh mulia beliau.
Hari demi hari beliau jalani dengan ancaman dan teror dari beberapa orang yang tidak menyukai kehadiran beliau dalam medan dakwah ilahi,  namun hal itu semua tidak membuat beliau semakin menghindar dari perintah Tuhan dan membimbing umat kejalan yang benar dan diridhoi. Dengan jiwa yang tenang dan menyandarkan semua itu pada takdir Tuhan beliau hadapi semua ancaman dan teror itu dengan sabar dan ikhlas. Seiring dengan beberapa peristiwa upaya pembunuhan terhadap beliau, cobaan dan tekanan juga datang dari pemilik tanah, dia meminta untuk segera dilunasi sisa pembayarannya, padahal pembelian tanah itu sebenarnya sudah lunas namun tidak diakui oleh pemilik tanah dengan alasan tidak ada kwitansi atau tanda buktinya, pada waktu itu jumlah uang yang harus beliau tanggung kurang lebih Rp. 400.000, si pemilik tanah itu mengancam akan mengusir beliau dari lokasi jika tidak segera melunasinya dalam beberapa waktu.
Sungguh hal itu merupakan cobaan yang sangat berat bagi beliau sebab hal itu tidak hanya dapat dihadapi dengan kesabaran dan ketabahan hati saja, akan tetapi harus disertai dengan kerja kongkrit dalam mencari solusinya. Setelah itu akhirnya beliau bermusyawarah terkait hal itu dengan salah satu warga yang selalu membantunya, dan beliau mengatakan ”seng petang atus mboten diakui, dospundi niki?, nopo niku mawon tanah sebelah wetan sampean kaplingaken”. (Yang 400.000 tidak diakui, gimana ini? Apa tanah yang disebelah timur itu dijual saja?). Mendengar perkataan dan melihat kesedihan beliau seperti itu akhirnya para sahabat beliau langsung membantu dan mencari orang yang mau membeli tanah itu, walhasil dengan pertolongan Allah tidak lama kemudian ada empat orang yang bersedia membeli sebagian tanah beliau diantaranya adalah: 1. Bapak H. Rohin. 2. Bapak Ponadi. 3. Bapak Kasiadi. Dan 4. Bapak H. Dollah dengan harga Rp. 2.000 permeter. Semoga Allah selalu melimpahkan rizki dan karunianya kepada beliau amin.
Selain cobaan dan ujian yang tampak dan terlihat oleh mata dalam keadaan sadar, beliau juga menerima cobaan dan gangguan yang tak nampak oleh panca indra manusia dari orang-orang yang iri dan dengki atas perjuangan beliau, sehinga pada waktu itu selain kondisi yang cukup memprihatinkan dengan hidup sederhana, ditambah lagi perasaan hati yang terus mendapatkan teror, ancaman, fitnahan, dan cemo’ohan banyak santri yang sakit dan harus tersungkur karena sering kalinya mendapatkan serangan udara dari tukang tenun. Melihat begitu banyaknya serangan tenun yang dilancarkan oleh mereka membuat beliau dan para santrinya harus rela mengurangi waktu tidur malamnya, hal itu demi menjaga ketahanan tubuh dari gangguan tenun atau santet itu, pernah suatu ketika ada yang mencoba menghitung santet atau tenun yang datang menghampiri beliau dan para santrinya mulai dari jam 09-12 ternyata terhitung sebanyak 49 kali bahkan ketika dihitung mulai ba’da isya’ sampai menjelang subuh bisa mencapai 99 kali gangguan santet itu mencoba menerobos beliau dan para santrinya, namun semua itu adalah kehendak Tuhan, apakah beliau bisa bertahan atau tidak dari gangguan semacam itu. Pernah juga suatu hari beliau harus tersungkur sebelum melaksanakan sholat isya’ dimasjid dan harus dibopong kembali ke kediaman beliau, selain itu juga beliau juga pernah mengalami sakit mata yang tak wajar oleh rekam medis dan membengkak selama berbulan-bulan. Hal itu terjadi bersamaan dengan pembangunan gedung sekolahan MTs. Begitu beratnya cobaan dan ujian yang beliau terima dalam mencari ridho Allah SWT. Semoga Allah selalu memberikan pertolongan dan kekuatan kepada beliau amin.
Tantangan demi tantangan, cobaan demi cobaan selalu beliau hadapi dengan kesabaran dan ketabahan (ngalah), namun bukan berarti cobaan sebagai ganti kemuliyaan itu oleh Tuhan dihentikan. Tuhan yang masih sayang pada beliau masih ingin menguji kesetiaannya, sekitar tahun 1989 kehendak Tuhan tak dapat ditawar lagi sehingga beliau harus rela menerima ujian Tuhan yang sangat dahsyat, dimana beliau harus merelakan kepergian putra kesayangannya yang diharapkan bisa menggantikan beliau dikemudian hari untuk selama-lamanya yaitu Ahmad Faishol (alm.). Tak lama kemudian beliau juga harus rela ditinggal mati oleh orang tuanya yang selalu memberikan perlindungan dan kasih sayangnya, serta bimbingan, tepatnya bulan desember 1989 M tidak berhenti disitu pada tahun 1990 M beliau juga masih diuji kesabarannya lagi oleh Tuhan dengan diambilnya putra ke delapan beliau kepangkuan Allah SWT yang bernama M. Bustomi (alm). Semoga mereka diberi tempat yang paling mulia disisi-Nya amin.
Tidak ketinggalan pula sang guru (Mbah KH Munawir) yang sejak awal sudah menaruh kepercayaan kepada beliau untuk bisa mengantikan dan meneruskan perjuangannya juga ikut menguji beliau, pada saat itu beliau baru mempunyai mobil, tiba-tiba sang guru datang pada beliau, melihat didepan rumah beliau ada sebuah mobil sang gurupun kemudian bertanya ”awakmu wes duwe montor” (kamu sudah mempunyai mobil) beliau lantas menjawab ”inggih nembeh tumbas” (iya, baru beli) mendengar jawaban beliau seperti itu sang gurupun langsung meminta mobil yang baru dibelinya itu ”montor iki tak pe’e” (mobil ini tak minta), tanpa pikir panjang beliau yang mempunyai keta’atan pada sang guru memberikan dan menghantarkan mobil itu ke rumah sang guru di Kertosono ke esokan harinya.  Melihat keta’atan dan keikhlasan beliau seperti itu, suatu hari ada sahabat beliau bertanya ”kok moro diparengaken gus, padahal niku jenengan butuhaken” (kok langsung diberikan gus, padahal itu kan kamu butuhkan), dengan tersenyum beliau menjawab ”ilmu seng sampun diparengaken guru kulo luweh awes katimbang mobil niku” (ilmu yang sudah diberikan seorang guru itu lebih mahal dari pada sebuah mobil). Sungguh mulia beliau, ketaatan kepada sang guru pantas untuk kita tiru dalam menggapai ridho guru.
Dari beberapa peristiwa, serta dari cobaan dan ujian  yang beliau hadapi selama perjuangan pernah suatu hari sebelum ayah beliau wafat, beliau bersama ayahnya sowan atau datang kepada gurunya dikertosono yaitu Mbah KH. Munawir. Disana beliau menceritakan pengalaman dan cobaan yang dihadapinya, dan dari cerita beliau itu akhirnya sang gurupun memberikan sebuah pusaka ampuh untuk dipegang dan dijalaninya yaitu pusaka “Ngalah barokah”, dan dari sinilah muncul inisiatif untuk dijadikan sebagai nama Pondok Pesantren yaitu Pondok Pesantren ”Ngalah” dan menggantikan nama sebelumnya yaitu Darut Taqwa II.
Ujian dan cobaan semua itu merupakan sebagian kecil yang dialami beliau, masih banyak ujian dan cobaan beliau yang lainnya yang tidak dapat tercatat dalam buku ini, Sungguh mulia beliau, kesabaran, keikhlasan, dan ketabahan beliau patut menjadi cermin bagi kita semua. Dan mudah-mudahan Allah SWT selalu menjaga dan memberikan kekuatan serta memberikan umur yang panjang kepada beliau sehingga kita semua dapat terus mengais pancaran beliau dan semoga Tuhan meridhoi beliau amin.

F.    Perkembangan Pondok Pesantren “Ngalah”

Setelah sekian lama beliau menjalani pahit getirnya perjuangan dalam kondisi atau budaya masyarakat yang jauh dari tuntunan Ilahi, tibalah beliau pada suatu proses untuk mengembangkan pondok pesantren yang bisa dijadikan pelabuhan bagi orang-orang yang mendapatkan hidayah Tuhan untuk mempelajari dan mendalami ilmu agama dan tersingkir dari kebodohan syaitoniyah.
Banyaknya orang yang masih lalai akan perintah Tuhan, adanya lokalisasi para WTS (wanita tuna susila) disekitar lokasi perjuangan, ditambah lagi kondisi perekonomian masyarakat yang jauh dari kata sejahtera serta latar belakang pendidikan masyarakat yang masih minim menjadi sebuah tantangan berat bagi beliau dalam perjuangannya dan mengembangkan pondok pesantrennya. Namun dengan keinginan dan cita-cita luhur beliau serta didasari dengan keuletan dan ketabahan yang paripurna akhirnya semua itu bisa beliau capai dan saat ini tampak jelas keberhasilan beliau seperti yang kita ketahui bersama.
Untuk membangun dan mengembangkan pondok pesantren tidaklah muda seperti yang kita bayangkan, perlu adanya sebuah usaha keras, keuletan, ketabahan, kesabaran, sekaligus perlu perencanaan-perencanaan serta langkah-langkah strategis yang harus dilakukan. Untuk itu sebelum beliau secara terang-terangan memberlakukan dirinya sebagai hamba Tuhan yang berjuang dijalan-Nya langkah awal yang beliau tempuh adalah melakukan pendekatan dan menarik hati masyarakat sekitar dan para tokoh-tokoh yang mempunyai pengaruh ditengah-tengah kehidupan masyarakat, dengan memberlakukan kesopanannya kepada siapapun saja, selalu menyapa siapapun yang beliau jumpai meskipun beberapa kali sapaan itu harus dibalas dengan cemo’ohan, terlebih lagi ketika hari raya beliau selalu berkeliling kerumah-rumah warga untuk bersilaturrohmi dan nitipno awak. Itulah langkah awal yang beliau lakukan dalam rangka mencari sahabat untuk membangun dan mengembangkan pondok pesantren yang tercinta ini, dan itu semua patut kiranya menjadi cermin bagi kita semua ketika kita terjun ditengah-tengah masyarakat.
Dengan itu semua akhirnya dengan waktu yang relatif cukup singkat beliau sudah menemukan sahabat yang setia menemani dan selalu membantu dalam perjuangannya. Setelah cukup baik persahabatan beliau dengan beberapa tokoh masyarakat akhirnya beliau mencoba untuk mempengaruhi dan mengajak mereka untuk melakukan syari’at sholat. Meskipun awalnya sempat ditolak oleh mereka atas dasar ketidak mengertian mereka tentang tata cara sholat, namun pada akhirnya mereka mau menerima ajakan beliau, hal itu bisa tercapai karena beliau tidak terlalu kaku dalam memberlakukan hukum bagi mereka, beliau mengajak dengan sederhana “sholat niku gampil, nggeh sak saget-sagete mawon, maos bis bis tok nggeh mboten nopo-nopo seng penting sholat”. Dengan kemurahan hukum yang beliau berlakukan bagi mereka yang masih tidak tau itu pada akhirnya terlaksana juga ajakan beliau meskipun awal mulanya hanya di ikuti 7 orang saja. Setelah itu lama-kelamaan beliau mulai mengajarkan sedikit demi sedikit tentang tata cara sholat yang baik dan benar. Dan pengajaran hukum syar’i itu beliau ajarkan dengan suasan senda gurau, penuh dengan kesabaran dan ketelatenan yang pada akhirnya beliau juga membimbing mereka ilmu thoriqoh, pada waktu itu orang yang pertama kali masuk dan dibaiat masuk thoriqoh oleh beliau adalah pak Satuna dan selanjutnya pak Satuna mengabdikan diri sebagai muadzin yang istiqomah. Setalah pak Satuna mulai banyak orang yang masuk thoriqoh dari hari kehari, selain itu juga beliau berhasil membimbing thoriqoh Mbah Karjin, yang menurut cerita sebagian warga dia dulunya adalah orang kaya yang sukanya adu ayam jago dan kemudian oleh beliau dijadikan bendahara jam’iyah thoriqoh.
Keinginan dan cita-cita beliau yang kuat untuk terus mengembangkan pondok pesantren tidak surut sedikitpun meskipun banyak kendala yang dihadapinya terutama dari segi keuangan, kerja keras, mencari batu sungai, dan pekerjaan yang lain sering kali beliau lakukan sendiri tanpa mengenal lelah dan letih, setelah bangunan masjid dari bambu sudah beliau rampungkan, beliau mulai mencoba untuk menarik santri dari luar. Hal itu tentunya tidak mudah untuk dilakukan, namun sebagai langkah awal dalam menarik para pemuda untuk datang dan belajar kepada beliau, akhirnya beliau membuat dan menyediakan sebuah permainan yang menjadi kesukaan para pemuda saat itu yaitu permainan karambol. Setelah adanya permainan itu lambat laun pemuda sekitarpun mulai banyak yang berdatangan, meskipun awal mulanya hanya sebatas ingin bermain saja namun lama-kelamaan mereka mulai tertarik untuk mengikuti pengajian dan belajarlah mereka pada beliau.
Waktu terus berjalan dan santripun semakin bertambah banyak, tempat bermukim yang terbuat dari bambupun sudah tidak mampu menampung para santri yang bermukim. Melihat kondisi itu beliau mulai berfikir untuk membangun sebuah pemukiman bagi para santri. Dengan dana yang beliau miliki pada waktu itu kurang lebih 15.000 (lima belas ribu rupiah), beliau memberanikan diri untuk memusyawarakan keinginan itu kepada sahabat-sahabat beliau, dan alhamdulillah para sahabat beliau menyetujuinya.
Beliau yang memang mempunyai keinginan itu langsung memimpin perjuangan itu dengan inisitif membuat batu bata sendiri, dan dengan bismillah para sahabat beliau langsung membagi tugas, bekerja mencari bantuan dan mengumpulkan bahan-bahan yang diperlukan guna mewujudkan keinginan beliau itu. Namun ironisnya pada saat mencari kayu untuk keperluan bakar batu bata dan lain sebagainya ada tragedi kecelakaan yang dialami oleh salah satu warga Pandean yang bernama Pak H. No, tangannya patah akibat tertimpah pohon, namun enaknya beliau mendapatkan jaminan oleh Mbah KH. Bahruddin Kalam yang mengetahui kejadiaan itu, Mbah KH. Bahruddin berkata “oh ala pak No sampean koyok ngene soale ngewangi anakku seng kate berjuang, aku Bahruddin janji mene-mene sampean tak jalukno nang pengeran cek diceluk nang suworgone” (oh ya Pak No kamu jadi begini karena membantu anak saya yang mau berjuang, aku Bahruddin berjanji besok kamu akan aku mintakan kepada Allah agar supaya kamu dimasukkan ke dalam surga-Nya) amin.
Setelah bahan-bahan sudah terkumpul pembangunanpun mulai dilakukan dan tidak lama kemudian pada tahun 1986 dengan kegotong royongan masyarakat sekitar berdirilah bangunan berlantai dua dengan jumlah 4 kamar sebagai tempat tidur santri putra yang kemudian disebut asrama A (A.1 A.2 A.3 A.4) dan kini beralih menjadi A.1 A2 dan A.8 A.9.
Seiring dengan pergantian sang waktu santri yang menuntut Ilmu pada beliau (Romo KH. Sholeh Bahruddin) kian hari kian bertambah banyak, tak ketinggalan pula santri putri pun mulai banyak yang mengaji dan belajar kepada beliau, melihat perkembangan santri putri yang kian bertambah membuat para sahabat beliau ikut memikirkan tempat tinggal mereka. Tidak jauh beda dengan pembuatan asrama putra, pembangunan tempat tinggal bagi santri putripun dilakukan, walkhasil tidak lama kemudian berdirilah asrama B dengan jumlah kamar pertama kali 2 lokal yaitu B.1 B.2 yang kini menjadi kantor pusat putri.
Dengan semakin pesatnya perkembangan santri, menuntut beliau untuk terus dapat menyediakan fasilitas dan kebutuhan bagi para santrinya dimasa yang akan datang. Untuk itu dengan dibantu warga sekitar tepatnya pada tahun 1987 berdirilah sekolah formal pertama kali yaitu sekolah tingkat menengah dibawah naungan Depag atau MTs (Madrasah Tsanawiyah) dan kemudian dibangun gedung sekolahan dengan jumlah lokal kelas pertama kali 3 ruang yang kini beralih menjadi kamar atau tempat mukim para santri putri yaitu asrama C, dengan identitas C.1 C.2 dan C.3.
Dari tahun ketahun pembangunan terus dilakukan oleh beliau baik fisik maupun non fisik hal ini dilakukan untuk lebih menyempurnakan diri sebagai lembaga yang mengabdi pada masyarakat. Namun itu semua memerlukan dana yang cukup banyak, oleh karena itu selain didapat dari sumbangan para warga terkadang beliau juga mengadakan ziaroh ke makam-makam para wali songo dan sisanya dibuat sebagai tambahan biaya pembangunan, hal semacam itu beliau lakukan kurang lebih hampir delapan kali mulai dari tahun 1987 – 1990.
Pondok Pesantren yang kian mengalami perkembangan dan kemajuan pesat ditambah lagi banyaknya warga sekitar yang melangkahkan kakinya dengan ikhlas untuk masuk pada bimbingan beliau membuat salah satu sahabat beliau yang bernama mbah Karjin mempelopori perehapan masjid yang masih terbuat dari bambu itu, dengan bahasa taqwa mbah Karjin berucap kepada sahabatnya yang lain ”yo’ opo masjide iki? isin rek.. nang pengeran nek bangunane gedhek”. Mendengar hal itu spontan para sahabat yang lain langsung bersemangat untuk merenovasi masjid yang masih terbuat dari bambu itu, dengan swadaya dan kegotong royongan warga sekitar alhamdulillah pada tanggal 4 rojab 1408 H atau tepatnya pada tanggal 22 februari 1988 renovasipun mulai dilakukan dan dapat dirampungkan selama 37 hari tepatnya pada tanggal 11 sya’ban 1408 H atau tanggal 29 Maret 1988 M dengan menghabiskan dana sekitar Rp. 4.531.270. dan selanjutnya diresmikan dengan acara pengajian yang dihadiri oleh Kyai Matlab dari Sidoarjo dan pagelaran seni budaya pencak silat Pagar Nusa dimalam harinya.
Beliau adalah seorang ulama’ yang selalu berwawasan jauh kedepan dan jauh kebelakang, sehingga dengan itu semua beliau terus mempersiapkan  para generasi bangsa dan membekali para santrinya untuk mencapai kedudukan fiddunya hasanah wafil akhiroti hasanah, sehingga pada tahun 1988 bersamaan dengan renovasi masjid beliau juga mendirikan sekolah lanjutan tingkat atas dibawah naungan Depag juga yaitu MA (Madrasah Aliyah) dan kemudian disusul pada tahun 1994 tepatnya tanggal 17 bulan juli beliau mendirikan taman kanak-kanak yang diberi nama RA (Raudhotul Atfhal) dan juga sekolah dasar yaitu MI (Madrasah Ibtida’iyah).
Tidak cukup itu saja beliau memberikan wadah bagi santrinya untuk mengembangkan kreasi dan ilmu pengetahuannya serta didasari oleh kebutuhan masyarakat akan pentingnya sebuah pendidikan formal demi masa depan akhirnya pada tahun 1997 beliau juga mendirikan sekolah tingkat tinggi dengan nama STAIS (Sekolah Tinggi Agama Islam Sengonagung) yang kemudian beralih menjadi sebuah Universitas dengan nama Universitas Yudharta Pasuruan pada tahun 2001 dan diresmikan oleh mantan Presiden RI ke-4 yaitu KH. Abdurrohman Wahid (Gus Dur). Namun sebelum itu, pada tahun 1999 beliau mendirikan sekolah menengah atas lagi namun dibawah naungan Diknas yaitu SMA (Sekolah Menengah Atas) dan disusul SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) pada tahun 2003.
Dengan ketenangan jiwa, kesabaran hati, ditambah lagi dengan ketabahan dan keikhlasan, beliau dengan sifat mengalahnya, sopan santunnya, kebijaksanaannya, serta keuletan yang tak mengenal lelah dan putus asa, pada akhirnya beliau mampu terus mengembangkan pondok pesantren dari tahun ketahun, sebuah keberhasilan yang diharapkan oleh banyak orang meskipun pada awalnya banyak yang tidak mengira kalau pada akhirnya Pondok Pensantren beliau bisa berkembang pesat seperti sekarang ini. Dengan pondok pesantren yang didukung sikap dan etika yang penuh tauladan tersebut nama besar beliau kini terdengar dimana-mana mulai tingkat Kabupaten hingga tingkat Nasional bahkan Internasional.
Dan dengan itu semua kini Pondok Pesantren yang berasimilasi dengan Yayasan Darut Taqwa menaungi lembaga pendidikan formal mulai tingkat taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi (TK sampai Universitas Yudharta) dan pendidikan nonformal mulai sifir hingga pendidikan Mu’allimin-Mua’llimat, dan selanjutnya Pondok Pesantren mempunyai ciri tersendiri.

G.    Nama dan Tempat Kedudukan

Pondok Pesantren Ini diberi nama “NGALAH” didirikan pada tahun 1985 yang berada di bawah naungan Yayasan Darut Taqwa dan berkedudukan di Jl. PP. Ngalah Dusun Pandean Desa Sengonagung Kecamatan Purwosari Kabupaten Pasuruan, dengan Nomor Telephon (0343) 611250 Pa (0343) 614083 Pi. Po. Box 04 Pasuruan 67162 

H.     VISI dan MISI

a.      Visi : Pondok Pesantren Ngalah mempunyai Visi sebagai berikut :
   “Membentuk santri  yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, berakhlakul karimah, mampu menjawab tantangan zaman serta memiliki kepedulian dan kepekaan terhadap masalah agama, pendidikan, sosial, budaya, nilai-nilai kebangsaan dan kemasyarakatan serta berjiwa Rohmatal Lil-Alamin”
b.     Misi : Dalam mewujudkan visi Pondok Pesantren Ngalah Mempunyai misi sebagai berikut :
1.      Menanamkan Aqidah dan mengamalkan syariat Islam yang berhaluan Ahlussunnah Wal Jama’ah.
2.      Memberdayakan potensi santri dalam lima wawasan yaitu, keagamaan, keilmuan, kemasyarakatan, keorganisasia, dan kebangsaan sesuai dengan kultur Pesantren.
3.      Mengimplementasikan nilai-nilai moral Pesantren dalam dinamika kehidupan kemasyarakatan.
4.      Menyipkan santri yang unggul dalam IMTAQ dan IPTEK
I.     Asas, Tujuan dan Fungsi

a. Asas
1.      Al Qur’an dan sunnah rosul
2.      Sari’at Agama Islam yang berhaluan Ahlussunnah Wal-jama’ah.
3.      Pancasilah dan UUD 1945.
b. Tujuan dan Fungsi
Pondok Pesantren Ngalah bertujuan dan berfungsi sebagai :
1.Lembaga Tafaqquh Fiddin
2.Pembinaan Mental spiritual
3.Lembaga Pengembangan Lima Wawasan
a.  Keagamaan
b.  Keilmuan
c.  Kemasyarakatan
d.  Keorganisasian
e.  Kebangsaan

0 komentar:

Posting Komentar